Dwi
Yasmanto, S.TP
(Anggota Komisi A DPRD Prov. Jateng – Pengurus Gerakan Muslim Indonesia Raya (GEMIRA) Jawa Tengah)
Diantara Hadits yang seringkali didengungkan saat bulan Ramadhan adalan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Awal bulan Ramadan adalah Rahmat, pertengahannya Maghfirah (ampunan), dan akhirnya 'Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka)." Sebagai orang yang beriman, apa yang disabdakan oleh Nabi tersebut tentu kita yakini kebenarannya dengan cara memahaminya secara kontemplatif dan aplikatif, tidak hanya sekedar dibaca semata. Karena Nabi sendiri juga menjelaskan bahwa rahmat dan ampunan Allah sangatlah luas, yang artinya tidak hanya ada di bulan Ramadhan.
Demikian halnya dengan puasa yang diwajibkan
saat bulan Ramadhan, bukan berarti di luar Ramadhan tidak ada puasa. Bahkan
banyak anjuran-anjuran agama untuk berpuasa selain Ramadhan, seperti puasa
Senin Kamis, puasa Daud, puasa ‘Asyura dan sebagainya.
Menilik sejarah peradaban manusia, pada
nyatanya puasa sudah ada sejak sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi dan
Rasul. Puasa seakan menjadi ritual yang menyertai manusia dari masa ke masa.
Seringkali ia dilakukan dengan motivasi spiritual untuk kebaikan pelakunya,
bahkan juga untuk tujuan pengobatan.
Kilas Puasa dalam Peradaban Manusia
Shiyam dan
Shaum dalam bahasa Indonesia diartikan dengan puasa. Kata puasa sendiri
berasal dari bahasa Sansekerta “Upavasa”, Upa berarti dekat atau mendekat dan
Wasa artinya Tuhan. Dari uraian linguistik ini menunjukan bahwa praktik
berpuasa sebenarnya sudah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara, dan secara umum
puasa sudah ada dalam sejarah peradaban manusia meski tata caranya berbeda
dengan yang diajarkan di dalam Islam.
Sebelum ayat al-Qur’an yang mewajibkan umat
Islam berpuasa Ramadhan diturunkan, Nabi dan kaum muslimin sudah
melakukan puasa di setiap 10 Muharram atau hari ‘Asyura. Praktik yang demikian
itu diperintahkan oleh Nabi setelah hijrah ke Madinah, dimana saat itu Nabi
mendapati orang-orang Yahudi berpuasa di tanggal 10 Muharram dengan alasan
bahwa di tanggal tersebut Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari
serangan Raja Fir’aun, sehingga Nabi Musa berpuasa di setiap tanggal tersebut
sebagai tanda syukur kepada Allah.
Kemudian, setelah turun ayat al-Qur’an yang
mewajibkan berpuasa Ramadhan, Nabi Muhammad tidak mewajibkan untuk berpuasa 'Asyura, namun juga tidak melarang bagi umatnya yang ingin tetap
melaksanakannya.
Selain di Islam, dalam agama-agama lain pun
terdapat ajaran puasa. Seperti di dalam agama Budha yang mana puasa diwajibkan
bagi para bhikkhu seumur hidup mereka dan untuk umat awam dianjutkan berpuasa
dua kali dalam sebulan. Para Bhikkhu dan umat Budha yang menjalankan puasa
hanya boleh makan pada dini hari hingga siang hari (pukul 12 siang), setelah
itu mereka berpuasa hingga keesokan harinya. Mereka diperbolehkan minum air
putih apabila ada alasan kebutuhan, bukan keinginan.
Lebih dari sekedar menahan makan dan minum,
puasa bagi umat Budha juga harus dibarengi dengan menjalankan “Atthasila” atau
8 latihan moral, yakni: 1) tidak membunuh, 2) tidak mencuri, 3) tidak berbuat
asusila, 4) tidak berbohong, 5) tidak mengkonsumsi zat adiktif dan memabukan,
6) tidak makan selewat dari tengah hari, 7) tidak menikmati hiburan dan 8)
wewangian dan tidak tidur di tempat yang mewah. Dari praktik yang demikian ini
maka nampak bahwa puasa memang bukanlah sekedar persoalan biologis untuk
menahan makan dan minum, melainkan juga tentang melatih diri secara mental dan
spiritual.
Dalam agama Hindu juga dikenal apa yang disebut
Siwaratri. Yakni berpuasa sejak matahari terbit hingga matahari terbenam yang
dilakukan setiap Panglong ping 14 Tilem Kapitu atau Prawning Tilem Kapitu.
Puasa Nyepi (hari nyepi) yang dimulai sejak fajar hari hingga fajar keesokan
harinya. Begitu juga dengan agama Kristen yang diantanya menjalankan rangkaian
puasa untuk menyambut masa Pra-Pakah.
Bukan untuk memperbandingkan. Diskripsi tentang
puasa di beberapa agama di atas hanya untuk menunjukan bahwa sebenarnya puasa
memang sudah lekat dengan peradaban manusia untuk tujuan melatih mental dan
spiritual agar menjadi pribadi yang lebih baik. Sehingga
momentum puasa sudah seharusnya dijadikan tali kekang penguat rasa kemanusiaan
antar sesama. Islam sendiri pun mengakui adanya ajaran puasa oleh umat-umat terdahulu,
sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Baqarah ayat 183, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa," (Q.S. al-Baqarah [2]: 183).
Puasa Ramadhan sebagai Gerakan Sosial
Setiap perintah yang ada di
dalam Agama pasti memiliki nilai kebaikan dan rahasia yang terkandung di
dalamnya. Tugas manusia selaku yang mengamalkannya diantaranya adalah memahami
dan meresapi maknanya agar tidak menjadi sekedar ritual belaka tanpa ada dampak
positif sesudahnya. Sebab secara mendasar agama diturunkan untuk menjadi rahmat
bagi kelangsungan hidup manusia dan alam seisinya, yang artinya ajaran-ajaran
dari agama haruslah dapat diamalkan selaras dengan tujuan tersebut.
Puasa Ramadhan dapat menjadi
suatu gerakan sosial apabila dilakukan sesuai dengan ketentuannya. Tidak hanya
ketentuan sebagaimana dalam fiqih, namun juga memahami makna yang terkandung di
dalam puasa. Untuk mengungkap makna terkandung, diantaranya dapat dengan melandaskan pemahaman pada ayat ke 14 dan 101 dari QS.
Al-An’am dan hadits Qudsi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya “Setiap amalan manusia adalah
untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan
memberikan ganjaran padanya secara langsung”. (HR. Bukhari)
Dimulai
dari memahami penjelasan hadits tersebut bahwa puasa hanya untuk Allah, maka
perlu dipahami bahwa tata cara puasa juga harus sesuai dengan ketentuan
langsung dari Allah, dalam arti mensifati apa yang ‘dilakukan’ Allah. Salah
satunya adalah bahwa setiap orang beriman yang berpuasa maka dilarang untuk
melakukan hubungan suami istri. Hal tersebut dikarenakan mengikuti sifat Allah sebagaimana
disebutkan pada ayat 101 QS. Al-An’am. Yaitu “…Bagaimana
Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri…”.[1] Pada ayat ini semua bisa
menerapkan sebagaimana yang sudah diatur dalam fiqih dan apabila dilanggar maka
ada ketentuan khusus atasnya, tidak sekedar batalnya puasa dan mengganti puasa
di hari lain.
Yang
sering kita luput adalah menjalankan puasa dengan mensifati apa yang disebutkan
pada ayat ke 14 surat Al-An’am, yang artinya:[2]
“Apakah aku akan menjadikan pelindung selain
Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak
diberi makan?” Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan agar aku menjadi
orang yang pertama berserah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu
masuk golongan orang-orang musyrik.”
Merujuk ayat tersebut, maka
dalam kondisi berpuasa kita tidak hanya berkewajiban untuk menahan diri tidak makan. Melainkan juga harus
memberi makan. Caranya? Secara umum kita dianjurkan untuk makan tiga kali dalam
sehari. Apabila puasa kita hanya diperbolehkan untuk makan di waktu selepas
terbenamnya matahari (buka) hingga sebelum terbit fajar (sahur), dalam bahasa lain kita melakukan sarapan lebih awal (sahur) dan makan
malam lebih awal (buka puasa). Jika dalam kondisi tidak puasa dalam sehari kita
makan tiga kali, maka ada satu jatah porsi makan yang tidak kita makan. Itulah
porsi yang harus kita berikan kepada orang lain yang membutuhkan/ berhak.
Sehingga selain berkewajiban untuk tidak makan saat berpuasa, kita juga diwajibkan
untuk memberikan makan kepada yang membutuhkan, selain dalam
bentuk zakat fitrah.
Mengapa
tidak hanya zakat fitrah? Sebab zakat fitrah pada dasarnya tidak ada
hubungannya antara personal yang menjalankan puasa dan waktu menunaikan zakat
fitrah. Mengapa demikian? Karena anak kecil yang belum wajib puasa pun sudah
wajib dizakati oleh orang tuanya. Yang artinya zakat fitrah adalah suatu
kewajiban tersendiri, sebagaimana ia menjadi salah satu rukun Islam dan puasa
menjadi rukun lainnya.
Sesuai data BPS tahun 2015,
jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 diproyeksikan sebanyak 271.066.000
jiwa. Sedangkan jumlah penduduk Indonesai yang
beraga Islam sesuai data Globalreligiousfutures
tahun 2019, diproyeksikan sebanyak 256.820.000 jiwa
pada tahun 2020, hampir 90% dari jumlah penduduk Indonesia.
Asumsinya, apabila dibuat rata-rata untuk biaya
sekali makan adalah Rp.5000 (lima ribu rupiah) dan dikalikan 30 hari (puasa
ramadhan) maka setiap muslim yang berpuasa dianjurkan untuk menyisihkan
Rp.150.000 sebagai ganti porsi makan yang tidak dimakan dan harus diberikan (Dia memberi makan dan tidak diberi makan)
selama bulan ramadhan. Apabila jumlah tersebut dikalikan 200.000.000 jiwa
penduduk Islam Indonesia maka akan ketemu nominal Rp.30.000.000.000.000 (tiga
puluh triliun rupiah).
Angka di atas adalah asumsi saja. Setidaknya spirit yang
ingin kami sampaikan adalah puasa apabila kita resapi dan jalani dengan penuh
kesadaran maka dapat kita jadikan sebagai titik awal gerekan sosila untuk
mewujudkan kesejahteraan.
Melalui Kementria Agama dan Kementrian sosial aturan
teknisnya dibuat dan diterapkan dengan terlebih dahulu memberikan pemahaman dan
edukasi kepada umat tentang semangat dan ide gagasan dari puasa sebagai gerakan
sosila untuk kesejahteraan. Ini lebih produktif untuk menjadi materi yang
disampaikan kepada majlis ta’lim,
masjid dan lembaga-lembaga keagamaan Islam oleh pemerintah. Dari pada harus
sibuk mensertifikasi da’i atau mubaligh
yang boleh menyampaikan ceramah dan malah semakin menimbulkan kegaduhan.
Pengelolaan dana tersebut bisa dilakukan dengan menunjuk
otoritas tertentu dari setiap wilayah di lingkungan kaum muslim. Agar alokasi
dana tersebut bisa tepat sasaran dimulai dari lingkungan terdekat dan tidak
terhambat persoalan-persoalan birokratis. Hal ini menjadi penting karena
mengingat ini adalah dana umat. Maka adanya dana tersebut harus berdampak pada
kesejahteraan umat. Apalagi dalam skala nasional pemerintah telah melakukan
pemotongan gaji PNS sebesar 2,5% sebagai zakat dan dikelola melalui Baznas, maka guna
menyeimbangkan objek atau wilayah pengalokasian dana sebaiknya dana puasa
dikelola secara mandiri oleh umat.
Dari titik ini harapannya akan melahirkan sinergitas umat dan
negara. Sehingga dalam konteks ke-Indonesia-an, fakir miskin dan anak terlantar tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah, namun juga menjadi bagian tanggung jawab orang-orang yang beriman di
Republik ini. Sebagaimana telah
disebutkan di dalam suart al-Ma’un ayat 1-3; “Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak
yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” .
Keharmonisan
dan Kerukunan
Perintah
untuk berpuasa Ramadhan ditujukan untuk seluruh umat Islam tanpa memandang
pangkat, jabatan dan latar belakang. Ia menjadi suatu kewajiban bagi umat
apabila tidak ada halangan baginya, seperti halangan karena kesehatan dan
sedang haid. Artinya, sekaya apapun orang tersebut, setinggi apapun pangkat dan
jabatan orang tersebut, ia tetap harus merasakan rasa lapar dan ketentuan
lainnya dalam puasa. Hal yang demikian itu diantaranya mengandung rasa senasib
sepenanggungan.
Selaras
dengan pemahaman surat al-An’am ayat 14 dan 101 serta hadits Qudsi sebagaimana
diuraikan di atas, maka rasa senasib sepenanggungan tersebut haruslah
diwujudkan dengan tindakan untuk mau berbagai terhadap sesama oleh yang mampu.
Kerukunan
dan keharmonisan akan terwujud apabila terdapat kesadaran dan sikap mau saling
berbagai, tidak rakus menguasi sendiri. Inilah sikap mental yang harus dilatih
saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, sehingga berpuasa tidak hanya
mendapatkan rasa lapar dan haus sebagaimana telah diperingatkan oleh Nabi
Muhammad SAW:
“Betapa
banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut
kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy)
Oleh sebab itu, apa yang telah disampaikan oleh Nabi pada
hadits di awal tulisan ini haruslah diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata.
Yang mana bulan Ramadhan penuh dengan rahmat, sehingga kita semua haruslah
saling welas-asih terhadap sesama. Bulan puasa penuh dengan ampunan, maka kita
semua haruslah mau untuk saling memaafkan terhadap sesama. Bulan puasa
dijauhkan dari api neraka, maka kita semua haruslah saling menjaga antar sesama
sehingga tidak terjadi kerusakan dan pertikaian antar sesama yang merupakan
neraka bagi keharmonisan hidup ini.
Jika tidak dengan demikian, apakah pantas mengharap surga dengan hanya menahan lapar dan haus sembari tetap berlaku tega terhadap sesama dan menumpuk harta?
Tulis Komentar