Dwi Yasmanto, S.TP
(Anggota Komisi A DPRD Prov. Jawa Tengah Fraksi Partai Gerindra)
Beberapa
waktu lalu seorang teman mengirimkan video ke grup WA yang saya menjadi
anggotanya. Video tersebut berisikan seorang perempuan dewasa berpakaian kaos
dan celana kolor pendek sedang berjoget-joget riang bersama seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan yang keduanya berusia kurang lebih masih
di bawah lima tahun. Sesaat setelah music berbunyi, wanita dewasa tersebut mulai
menggerakan pinggulnya (joget), dan tiba-tiba kemudian anak laki-laki
menggerakan tangannya berusaha menyentuh organ vital dari wanita dewasa
tersebut. Sang wanita pun kaget dan tertawa sembari menoyor kepala anak
tersebut.
Video-video lain yang beredar viral di media sosial, tidak sedikit juga memiliki
kesamaan dengan model video di atas, yakni pemerannya menggunakan pakaian minim serta melakukan
gerakan-gerakan menonjolkan bagian tubuh tertentu. Yang sebenarnya hal tersebut
lebih cenderung ke arah eksploitisi tubuh secara erotis.
Selain pertunjukan video semacam itu, di lini massa media
sosial juga tidak sedikit ditemui interaksi-interaksi yang bernada hujatan,
ejekan, cemoohan, dan sejenisnya yang itu secara moril berhubungan dengan
kesopanan dalam berinteraksi sosial.
Kondisi di atas merupakan diskripsi dari realita media sosial –khususnya di Indenosia- yang terdapat ekspresi-ekspresi tabu dalam konteks tatanan sosial kemasyarakatan Indonesia. Selain juga
bahwa terdapat contain positif di media sosial yang
bermanfaat untuk kehidupan masyarakat.
Moral
dan Subjek
Berbicara
tentang moral dan norma memang suatu hal yang abstrak. Dalam arti bahwa setiap
individu atau masyarakat tertentu memiliki standard dan kesepakatannya
masing-masing. Oleh sebab itu, dalam hal perbincangan media sosial ini apabila kita
urai setidaknya terdapat tiga variable utama. Yaitu, penyedia aplikasi,
pengguna aplikasi dan pemerintah selaku pembuat regulasi dari adanya aktifitas
digital di negara ini.
Pertama,
dalam hal penyedia aplikasi. Aplikasi dapat disuguhkan ke masyarakat dengan
berbagai vitur dan juga kebijakan penggunaan yang menjadi ketentuan dari
penyedia aplikasi. Dalam hal ini, tidak sedikit dari aplikasi media sosial yang
menerapakan kebijakan pemblokiran contain yang berisi pornografi atau contain
lain yang dapat mengggu kejiwaan, seperti tindak kekerasan dan pembunuhan.
Maka,
pada variable pertama ini, penyedia aplikasi juga harus menyesuaikan kebijakan
dalam hal ketentuan aplikasinya sesuai dengan norma wilayah pasar aplikasi.
Sebab, tatanan norma yang ada di satu daerah pada nyatanya berbeda dengan
negara lainnya. Dan ini juga berkaitan dengan regulasi yang diterapkan oleh
suatu negara.
Kedua,
variabel pengguna aplikasi. Ini adalah medan yang paling dinamis yang memang
tidak dapat kita nyatakan secara seragam. Namun setidaknya dapat kita ketahui
bahwa apa yang ditulis atau ditunjukan oleh pengguna aplikasi di akun media
sosialnya sangat berkaitan dengan kepribadian dan subjektifitasnya. Hanya saja
yang perlu disadari oleh masing-masing subjek pengguna medsos adalah, apa yang
ia ekspresikan melalui media sosial akan menjadi konsumsi publik, tidak hanya
konsumsi pribadinya. Oleh karenanya, mempertimbangkan bagaimana respon publik
terhadap apa yang disampaikan melalui media sosial juga harus diperhatikan.
Bahwa
yang harus disadari dalam beraktifitas sosial adalah tidak hanya persoalan
benar dan salah, tetapi juga ada baik dan buruk, pantas dan tidak pantas yang
itu berkaitan dengan aspek moral dalam berinteraksi sosial.
Seringkali
kita mendengar dari seseorang yang mengumbar erotisme tubuhnya, atau keseksian
dari tubuhnya adalah pembenaran bahwa itu merupakan hak dirinya, dan
menyalahkan orang lain yang melecehkan atau berkomentar tidak baik pada
dirinya. Yang luput dari pemikiran subjek tersebut adalah konsekuensi dari
ekspresinya yang dimunculkan ke ranah public, bahwa tanggapan positif atau
negative yang muncul dari orang lain atas dirinya tidak dapat dihindari, meskin
respon yang melecehken juga sama-sama tidak dapat dibenarkan.
Dari
fenomena tersebut sebenarnya sudah nampak bahwa moral, akhlak atau kesusilaan meski
sifatnya adalah tidak nampak secara materi, namun ia nyata adanya, ada pada
prilaku dari setiap individu.
Moral
atau akhlak atau susila yang berada pada ranah diskursus baik atau buruk atas
prilaku individu, sebenarnya bukanlah soal label atau penyebutan semata dari
satu subjek ke subjek lainnya. Sesuatu disebut baik pastilah karena sesuatu itu
dapat memberikan efek positif, begitupun penyebutan buruk juga karena dapat
menimbulkan dampak negative.
Oleh
karena itu, menyatakan contain yang berbau erotisme atau pornografi sebagai suatu
hal yang buruk bukanlah tanpa alasan. Dampak buruk yang ditimbulkan dari sikap
tersebut tentu berkaitan dengan degradasi moral bagi generasi bangsa yang
berujung pada meningkatnya tindakan melawan aturan, baik aturan norma sosial
ataupun aturan hukum negara. Meskipun sang pelaku mengatakan itu adalah hak
pribadinya untuk berekspresi di media sosialnya, namun hal tersebut menjadi hak
pribadi apabila itu dilakukan dan dikonsumsi secara pribadi, apabila hal
tersebut sudah dimunculkan dalam ruang publik maka harusnya ia menyadari adanya
hak orang lain di dalam ruang publik yang secara kolektif memunculkan apa yang
disebut norma atau hukum.
Hasil
riset yang dirilis oleh Microsoft pada akhir bulan Februari lalu menunjukan
bahwa diantara negara-negara se-Asia Tenggara, warganet atau nitizen Indonesia
berada pada tingkat terendah dalam hal kesopanan digital saat berinteraksi di
dunia maya. Sungguh hal tersebut sangat miris, mengingat adat dan budaya bangsa
Indonesia yang terkenal santun dan ramah.
Selain
itu, data dari NCMEC
(National Center for Missing and Exploited Children) menunjukan media sosial
meningkatkan angka kekerasan dan eksploitasi seksual anak. Pada
Januari-September 2020 secara global, kekerasan dan eksploitasi seksual anak
mencapai sekitar 98,66 persen, yang umumnya terjadi berawal melalui media
sosial.
Sementara itu, ECPAT Indonesia (END Child
Prostitution), lembaga yang fokus bergerak di bidang penghapusan prostitusi,
pornografi dan perdagangan anak untuk tujuan seksual di Indonesia, pada akhir
2020 lalu merilis hasil surveinya terhadap 1.203 reponden anak terkait
kerentanan anak terhadap eksploitasi seksual anak. Hasilnya 25 persen atau
sekitar 287 anak telah mengalami perlakuan buruk tersebut.
Ketiga,
variable pemerintah yang membuat peraturan. Yang dapat dilakukan oleh
pemerintah dalam hal ini adalah membuat peraturan. Pada aspek ini maka
peraturan dimunculkan tidak hanya untuk pengguna media sosial, tetapi juga
penyedia aplikasi media sosial. Adanya UU ITE dan UU tentang Pornografi sebenarnya
sudah cukup apabila dibarengi dengan kesadaran pengguna medsos untuk berprilaku
baik di media sosial. Namun, pada nyatanya tidaklah demikian. Sehingga perlu
adanya regulasi yang memperketat penyedia aplikasi dalam hal kebijakan pengunggahan
contain yang tidak pantas di media sosial.
Pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Kominfo yang memiliki fungsi diantaranya merumuskan
kebijakan pelaksanaan komunikasi dan informasi dalam bidang teknologi informasi
dan komunikasi, sudah seharusnya memiliki peraturan yang jelas dan tegas dalam mengatur
aktifitas di media sosial yang semakin terbuka penggunaannya oleh semua
kalangan.
Aktiftas
digital di media sosial saat ini dihadapkan pada dua persoalan besar, selain
tentang penyebaran hoax juga tentang pornografi dan pornoaksi. Ketegasan yang
dapat dilakukan adalah selain memberikan ketentuan terhadap penyedia aplikasi
dan sanksi apabila melanggar, juga melakukan pemblokiran terhadap akun-akun
yang terbukti mengunggah dan/atau menyebarkan contain yang berisi hoax,
pornografi dan porno aksi.
Penyikapan
bersama
Dari
tiga variable di atas, persoalan mendasarnya adalah pada manusianya dalam perilaku,
baik di media maya ataupun di media nyata. Dengan adanya media sosial yang
dapat dengan mudah menjadikan orang terkenal (viral), di satu sisi memberikan
ruang untuk sebagian orang berprilaku “aneh” agar mudah dikenal. Bisa jadi hal
tersebut adalah karena motif ekonomi supaya mendapatkan banyak follower
sehingga menjadi selebritis di dunia maya, dan pada akhirnya mendapatkan tawaran
untuk melakukan promosi (endorse) produk di akun medianya meski harus dengan
mengorbankan moralitas.
Melihat
realita dari contain video sebagaimana diskripsi di atas maka dapat ditarik
kesimpulan sementara bahwa persoalan moral terjadi akibat lunturnya rasa malu
pada diri setiap pelaku dan sikap permisif dari masyarakat di sekitar pelaku,
khususnya keluarga. Sikap permisif atau membiarkan prilaku yang demikian itu
menjadikan sang pelaku merasa dibenarkan atas tindakannya.
Oleh
karenanya, untuk menanggulangi persoalan ini harus dimulai dari pendidikan di
dalam keluarga sedari dini. Pendidikan yang dimaksud adalah tentang budi
pekerti yang itu dimulai dengan mengajarkan apa yang baik untuk dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan secara etik, tidak hanya pengajaran tentang kognitif
semata. Sebab yang lebih sulit adalah membangun kepribadian yang luhur pada
anak daibandingkan hanya kepintaran kognitif.
Akhirnya, kita semua tidak sekedar berbicara
tentang perkembangan teknologi dalam dunia digital. Melainkan tentang manusia
yang menggunakan teknologi tersebut. Maka perlu adanya kesadaran bersama dari
mulai subjek pengguna teknologi, penyedia aplikasi dan pemerintah untuk
bersepakat bersama bahwa moralitas harus dijunjung tinggi untuk kehidupan yang
beradab.
Tulis Komentar